Senin, 22 Juni 2015

RUMAH ADAT SUKU KAJANG



I.                  PENDAHULUAN

Rumah adat suku kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa. Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat. Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
II.               PEMBAHASAN
Tipologi bangunan
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIBwFfewvLjePuZPUAZQcnM32Y7YdZbf-wrwJmVrTD8zMUd4qAt8bsZ21eRyFr0D3PEjDa-O9rNY-S-TlCFulon2X-5oUyYGpK0YT3EJGGPgXMRY90dF4ls0wczgOwRaOcaTxPwRtEuX8/s1600/ADAT-Kajang1-Rumah-masyarakat-adat-Kajang.jpg





Gambar 1. Contoh bentuk bangunan rumah suku adat kajang



Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian badan
(Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak 60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan  para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan 16 peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang:  para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti padi dan  juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka. Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang:  Ata’  ). Pada bagian muka dan belakang dari atap ( ata ‟) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan dari tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan  Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu dan jendala yang masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem geser (sliding door and sliding window).

            Bentuk rumah adat suku kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku kajang mempunyai keunikan bentuk rumah panggung tersendiri yaitu dapurnya terltak di depan menghadap jalan utama. Ini melambangkan kesederhanaan, dan mau menunjukan apa adanya. Mereka senantiasa menyembunyikan rumah di balik hutan. Di dalam setiap rumah adat suku kajang, tidak ada satupun peralatan rumah tanggga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Bahkan mereka tidak menggunakan satu barang elektronik pun. Mereka menganggap modernitas dapat menjauhkan suku kajang dengan alam dan leluhurnya.
Filosofi dan tradisi suku kajang
1.      Budaya Kamase-masea Masyarakat Kajang
Masyarakat kajang memegang teguh budaya dan tradisi dari nenek moyang mereka yang berupa hukum tidak tertulis dalam daerah tersebut yang oleh masyarakat kajang disebut pappasang atau pasang (pesan, petuah). Salah satu isi dari pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang sederhana ( tana kamase-masea) hal ini yang menyebabkan masyarakat kajang tidak menerima adanya moderenisasi dan cenderung menolak perubahan karena mereka menganggap hal itu sebagai kemegahan atau kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan pemerintah yang dianggap mampu mengancam keberadaan mereka. Prinsip tersebut mereka yakini sebagai jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada prinsip kamase-masea dengan sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sabbara (sabar), dan appisona (pasrah) di dalamnya.nilai nilai yang ada pada budaya kamase-masea itulah yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat kajang.

2.      Upacara Rumatang Masyarakat Kajang

Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur, ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat yang kerap disebut ammatoa. Persiapan upacara dimulai pada pagi hari yang oleh kaum wanita dipersiapkan makanan khas dan dipimpin oleh seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa makanan apa saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena  jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan. Hal ini dilakukan pada saat makan siang bersama sebelum dilaksanakannya upacara Rumatang.  Ada juga delapan buah sesaji yang disediakan berupa nasi empat warna, lauk pauk dan buah-buahan. Sesaji ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin. Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan hasilnya. Salah satu contoh program pemerintah adalah memberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh komunitas adat, sehingga sampai saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan. penerangan lampu tembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat, penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar, karena itu merupakan suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali memakai pakaian warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba hitam, yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai  jutaan rupiah.
Filosofi masyarakat kampung suku kajang dalam bahasa kajang Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase yang berarti berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau  sederhana.

Hubungan tipologi bangunan dengan filosofi hidup suku kajang
            Masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal. Tidak ada satupun warga suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas. “Ini dikarenakan dianggapnya mereka ini tabu untuk melakukan hubungan dengan dunia luar bagi perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa itu. Mungkin ada beberapa unsur pengaruh negatif. Keluar, pengawasan sudah kurang. Pengawasan keluarga sudah jarang. Atau mungkin karena pengaruh pergaulan yang mereka sama sekali di awal kehidupannya belum pernah melihat tata cara seperti itu, mereka langsung bisa terjerumus. Inilah yang mereka jaga. Tapi, kalau sekarang ini sudah sedikit agak terbuka.






Kearifan lokal dalam bangunan rumah adat suku kajang
1.      Interaksi sosial
Menurut Soekanto (1990) interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia Hubungan antara individu komunitas ammatoa dengan individu komunitas ammatoa lainnya di dalam kawasan adat sangat baik, baik secara kuantitas maupun secara kualitas.  Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya yang berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu dengan lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.
2.      Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan sebagai cara hidup yang diikuti oleh kelompok tertentu, melibatkan peran sosial mereka dan karakterisitik yang tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan perannya di tempat tersebut Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang. Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan ruang/hunian mereka.  
       
III.           PENUTUP
KESIMPULAN
            Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya mereka.Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar.

DAFTAR PUSTAKA
https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/(31/3/3015)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar